Friday, March 11, 2011

Kisah Sedih Di Malam Natal

“Bukan seberapa besar yang bisa kita beri tapi seberapa besar hati kita pada saat memberi.”

Dewa Klasik Alexander

Pencobaan-pencobaan yang kamu alami ialah pencobaan-pencobaan biasa, yang tidak melebihi kekuatan manusia. Sebab Allah setia dan karena itu Ia tidak akan membiarkan kamu dicobai melampaui kekuatanmu. Pada waktu kamu dicobai Ia akan memberikan kepadamu jalan ke luar, sehingga kamu dapat menanggungnya.
1 Korintus 10:3
12931812582115727407
Aku menatap Angel yang tidur lelap.  Adikku satu-satunya. Hanya tinggal aku dan dia. Ayah pergi meninggalkan kami setelah ibu meninggal dunia dua tahun yang lalu. Kata teman-teman ayahku, dia menikah lagi dan tidak ingin membawa kami karena istri barunya tidak menginginkan kami. Selama dua tahun itu juga ayah tidak pernah menjengukku.
Tidak ada yang bisa mereka wariskan selain kasih sayang dan tentang Yesus kristus dalam hidup kami. Beserta sebuah gubuk di kolong jembatan yang telah usang di makan waktu.
Seingatku sejak lahir aku sudah tinggal di kolong jembatan.
“Kak, aku mau kado natal.” Terngiang permintaan Angel sore tadi.
Aku mencoba memahami keinginannya sebagai anak berusia enam tahun.
“Kakak tidak bisa janji. Tapi kakak akan usahakan.”
Hanya itu yang bisa aku katakan.
*****
“Dua puluh ribu? Bagaimana?” tanya Bang Ical.
“Tambah lima ribu lagi bang!”
Bang Ical berpikir sejenak.
“Ok! Dua puluh lima ribu.”
Aku tersenyum lalu menyerahkan celana jeansku. Aku terpaksa menjual satu-satunya jeans yang aku punya. Demi untuk membeli sebuah kado untuk Angel.
Aku melangkahkan kakiku ke gubukku untuk menemui Angel.
Sebuah senyuman manis menyambut kedatanganku.
“Angel sudah mandi?”
“Sudah dong kak! Kakak tuh yang bau! He…he…he…”
Aku mencium aroma badanku yang asam.
“Kakak mandi dulu ya. Nanti kita ke mal.”
“Serius kak?” tanya Angel dengan mata berbinar-binar.
“Iya sayang! Emang kapan kakak bohong sama kamu?”
“Ya udah… Mandi sana kak.”
“Cium dulu dong!”
“Ngga mau!”
“Kalo gitu kakak yang cium kamu.”
Dengan cepat aku mendaratkan sebuah ciuman ke pipi Angel.
“Bau….” teriak Angel lalu tersenyum.
*****
Sudah satu jam aku dan Angel mengelilingi Citra Land Mal. Tapi dia belum memutuskan untuk memilih kado. Aku sengaja memberikan dia kebebsan untuk memilih kado asal harganya tidak lebih dari dua puluh lima ribu rupiah.
“Angel mau kado apa?”
“Tempat jual permen di mana kak?”
Aku sedikit bingung dengan pertanyaannya.
“Kita harus ke lantai bawah.”
“Ya udah kita ke sana.”
*****
“Satu orang dapat lima ya,” ucap Angel membagikan permen ke anak-anak jalanan yang sering mangkal di sekitar lampu merah dekat Citra Land Mal.
“Kita harus bisa berbagi, meski kita susah!”  Jawab Angel ketika aku menanyakan niatnya membagi-bagikan permen ke anak-anak jalanan.
Dia benar-benar malaikat kecilku. Aku tersenyum melihat tingkahnya yang kini bermain bersama anak-anak jalanan lainnya.
“Angel, kakak mau pipis dulu ya.”
“Ya udah!”
Aku melangkahkan kakiku untuk mencari tempat memenuhi panggilan alam.
“Tolong!”
“Angel!”
Terdengar teriakan dari arah belakangku. Aku membalikkan tubuhku dan melihat kerumunan orang banyak. Tanpa berpikir panjang aku berlari ke kerumunan tersebut.
Dunia seakan runtuh. Angel terbaring di aspal jalanan dengan bersimbah darah.
“Tadi ada mobil ugal-ugalan yang nabrak Angel,” ucap seseorang ibu.
“Angel! Kakak sayang kamu! kamu jangan tinggalin kakak ya.”
Tidak ada jawaban. Hanya nafas lembut yang terdengar.
“Angel!” teriakku dengan sekuat tenaga. Aku tidak lagi mempedulikan orang-orang di sekitarku.
Aku mengangkat tubuhnya dan membawanya ke rumah sakit terdekat.
*****
Masih terngiang dikepalaku percakapan kami dua hari yang lau.
“Kak, kapan aku bisa pegang pensil?”
“Untuk apa?”
“Aku udah ngga sabar lagi untuk belajar menulis.”
Tubuh mungilnya terbaring dengan lemah. Tangan kanannya yang buntung dibalut perban. Betapa mirisnya hatiku melihat perban itu. Aku melihat tubuhnya yang pucat dan menahan rasa sakit diantara selang infus yang masih terpasang ditubuhnya.
Aku mengumpulkan semua kekuatanku hanya untuk menyapanya.
“Hallo, Angel?”
Aku duduk di sisinya. Aku membelai rambutnya.
“Kak, tangan Angel sakit sekali. Tangan Angel kenapa dipotong? Kan Angel mau nulis?”
Aku mencoba untuk menahan air mataku untuk tidak jatuh membasahi pipiku. Aku tidak boleh menangis didepan Angel.
“Angel pasti sembuh!” kataku mencoba menghiburnya.
“Kalo Angel sembuh itu artinya tangan Angel tumbuh lagi ya?”
Hanya Tuhan yang tau betapa perihnya hati ini melihat keadaan Angel.
“Iya, Angel lupa. Angelkan bisa menulis pakai tangan kiri.” Ucapnya dengan senyuman.
Aku tidak bisa menahan air mataku untuk tidak jatuh.  Aku ngga bisa membayangkan kalo aku mengalami apa yang dialaminya. Aku mungkin bisa gila! Tapi berbeda dengan Angel. Dia tetap optimis meski dia sendiri tidak tau arti optimis itu apa.
“Nanti kakak akan ajarin kamu menulis ya!”
“Kapan?” tanyanya.
“Kalau kamu sembuh nanti.”
“Kakak, udah belikan aku pensil?”
“Udah. Warnanya warna pink loh!”
“Kakak kenapa menangis? Aku aja yang kecil ngga nangis.”
Aku cepat-cepat menghapus air mataku.
“Aku mau nyanyi untuk kakak, bolehkan?”
Aku hanya menganggukan kepalaku.

Awan Awan Menghitam
Langit runtuhkan dunia
Saat aku tahu ternyata akhir ku tiba

Mengapa semua menangis
Padahal ku selalu tersenyum
Usap air matamu
Aku tak ingin ada kesedihan

Burung sampaikan nada pilu
Angin terbangkan rasa sedih
Jemput bahagia diharinya
Berikan dia hidup

Tuhan terserah mau-Mu
Aku ikut mau-Mu Tuhan
Ku catat semua ceritaku
Dalam harianku
************
TAMAT

http://www.kompasiana.com/dewaklasik

No comments:

Post a Comment