Wednesday, March 23, 2011

Ku Mohon Untuk Kali Ini Saja

          Aku mencintainya. Rasa yang teramat dalam. Lima tahun aku menunggu tanpa kepastian. Meyakinkan diriku sendiri bahwa suatu saat aku akan bersamanya. Lelah? Itu pasti. Tetapi setiap melihat dia melintas didepanku atau pun hanya sekedar dalam pikiranku, semangat itu tumbuh lagi dan rasa lelah itu seolah sirna. Aku tak bisa melepaskan diri dari dia, entah mengapa. Perasaan ini sudah terlalu jauh aku biarkan. Terkadang aku merasa bodoh, tapi terkadang aku juga merasa harus berterima kasih padanya. Terima kasih karena dia yang mengajarkan aku apa arti mencintai. Dia yang mengenalkan pada ku cinta. Biarlah perasaan ini mengalir apa adanya. Jika memang dia bukan untuk aku, suatu saat nanti Tuhan pasti menyadarkanku dengan mengirimkan seseorang yang lebih baik dari pada dia. Aku yakin dan percaya akan satu hal itu…
***
            Aku berhasil melupakan dia! Mungkin tidak sepenuhnya lupa, dia cinta pertamaku dan akan selalu menjadi cinta pertamaku. Rasa itu masih tersimpan dalam hatiku. Hanya saja aku sudah menguburnya didasar paling dalam. Saat ini, saatnya aku mencoba membuka hatiku untuk orang lain. Sudah cukup waktu yang aku berikan untuk dia.
            Dua bulan terakhir ini, aku dekat dengan Andre. Andre temanku semasa duduk dibangku SMA dulu. Andre mengetahui cukup banyak tentangku dan dia. Karena kami dulu memang cukup dekat sebagi teman sekelas. Sempat beberapa kali aku berbagi cerita dengan Andre tentang dia. Beberapa kali itu juga Andre menyemangatiku untuk berjuang demi cintaku itu. Dan saat ini Andre datang bukan untuk menyuruhku berhenti memperjuangkan cintaku itu. Tapi Andre datang untuk menyadarkan aku bahwa ini saatnya aku berhenti untuk sebuah harapan kosong. Andre pun siap bersaing secara sehat untuk menunjukan bahwa dia lebih baik dari pada Wilson yang selama ini aku tunggu-tunggu.
            Malam itu Andre mengajakku pergi kesuatu café untuk dinner. Aku merasa kalau akan terjadi suatu hal nanti di tempat itu. Melihat kedekatan kami yang memang semakin intens dan melihat tampilan Andre malam itu. Rapih dan terlihat sungguh mempesona. Melengkapi wajah oriental miliknya. Apalagi begitu memasuki café, suasana romantis dan teduh langsung terasa. Membuatku semakin mempersiapkan diri dengan kemungkinan yang akan terjadi.
Ditengah-tengah makan malam, Andre berdiri dan pamit untuk pergi ke toilet. Tidak lama kemudian tiba-tiba mengalun nada piano dari arah panggung. Membuat beberapa pasang mata pengunjung menoleh kearah panggung. Termasuk aku! Andre sudah duduk dengan semua pesonanya malam itu. Jari-jarinya menari diatas tuts-tuts piano putih itu. Memasuki bait pertama lagu, Andre menoleh kearahku, tersenyum manis dan seolah dari tatapan matanya mengatakan bahwa “this is my special performance just fo you”
Maafkan aku tak bisa memahami maksud amarahmu,
Membaca dan mengerti isi hatimu.
Ampuni aku yg telah memasuki kehidupan kalian,
Mencoba mencari celah dalam hatimu

Aku tau ku takkan bisa menjadi s’perti yg engkau minta,
Namun selama nafas berhembus aku kan mencoba menjadi s’perti yg kau minta

Ampuni aku yg telah memasuki kehidupan kalian
Mencoba mencari celah dalam hatimu

Aku tau ku takkan bisa menjadi s’perti yg engkau minta
Namun selama nafas berhembus aku kan mencoba
Aku tau dia yg bisa menjadi s’perti yg engkau minta
Namun selama aku bernyawa aku kan mencoba menjadi s’perti yg kau minta

            Selesai menyanyi, Andre kembali duduk didepanku. Dan seluruh mata menjadi memandang kearah kami sekarang. Malu tapi ku akui aku terpesona.
            “Kita diliatin orang nih.” Bisikku pelan.
            “Itu karena kamu cantik male mini.” Jawabnya.
            “Gombal kamu! By the way thanks lagunya. Keren!”
            “Siapa yang bilang lagunya buat kamu? Aku cuma lagi pengen ngehibur pengunjung sini kok.” Candaan khas Andre keluar. Dia selalu seperti itu, membuatku seolah-olah malu sendiri dengan apa yang sudah aku katakan.
            “Oww..kirain.” Pura-pura aku memasang wajah kecewa. Tiba-tiba dia diam. Memandangku sembari tangannya menggenggam tanganku.
            “Lagu itu special buat kamu kok. Aku tau aku ga akan bisa menjadi seperti yang kamu minta, tapi selama aku bernafas aku akan mencoba. Dan aku tau Wilson yang bisa tapi kembali lagi selama aku bernafas aku akan mencoba.” Ucapnya pelan-pelan. Aku terdiam. Terpaku mendengar perkataannya.
            “Aku speechless.” Jawabku singkat lalu tertunduk malu.
            “Would you give me the answer?”
            “Kasih aku waktu untuk berfikir ya? Bukan karena aku ga yakin sama kamu, aku cuma ingin mastiin perasaan aku aja. Aku ga mau kalo perasaan ini hanya sekedar perasaan sesaat.”
            “Oke, aku tunggu kamu sampe kamu bener-bener siap.” Andre tersenyum.
            Dalam perjalanan pulang, kami menjadi sedikit canggung. Hanya beberapa saat sih, sampai akhirnya kegilaan kami berdua kembali muncul. Aku dan Andre sama-sama periang dan jail. Jadi tak jarang kami saling mengerjai satu dengan yang lain. Kalau bersama dia aku pasti tertawa, minimal dia akan membuat aku tersenyum. Entah mengapa, sejak kami di SMA dulu aku selalu merasa bahwa kami cocok. Sempat dulu aku mengagumi pesona yang ada dalam dirinya, tetapi hanya sebatas itu saja.
            “Thanks ya buat hari ini.” Ucapku ketika kami sudah sampai didepan rumahku.
            “Sama-sama. Aku tunggu jawaban kamu.” Balasnya. Dan malam itu kami berpisah dengan perasaan yang kami bawa masing-masing.
            Baru beberapa saat setelah mobil Andre meninggalkan rumahku dan aku masih didepan pintu. Tiba-tiba saja, ada yang memanggil namaku. Ketika aku menoleh kearah suara itu dan mata kami bertemu, aku terdiam. Seolah tersihir dengannya. Mengapa bisa dia? Angin apa yang membawa dia kesini? Bagaimana dia mengetahui rumahku? Beribu-ribu pertanyaan bermunculan didalam pikiranku. Aku masih berdiri mematung memandang dia ketika untuk kedua kalinya dia memanggilku. Sampai akhirnya mama keluar dan menyadarkanku.
            “Itu temen kamu? Dari tadi manggil-manggil nama kamu kok kamu diem aja?” Tanya mama.
            “Eh, emm iya ma. Ya uda mama masuk aja. Biar aku yang buka.”  Kataku lalu mendorong mama masuk. Aku berjalan kearah pagar masih dengan perasaan tidak yakin apakah yang ada didepan rumahku dan barusan memanggil namaku memang dia.
            “Kamu tadi beneran panggil nama ku?” Tanyaku tak percaya.
            “Iya. Kamu. Kamu Lilian kan?” Tanyanya.
            “He’eh. Tapi kita kan ga kenal.” Jawabku.
            “Kita bisa ngobrol sebentar? Ada sesuatu yang  mau aku bicarain sama kamu. Ntar aku jelasin semuanya.” Katanya sopan.
            “Oke, silahkan masuk.” Aku mempersilahkan dia masuk, dan dia berjalan dibelakang membuntutiku. Kami berdua duduk didepan teras dengan suasana yang sangat-sangat canggung. Sampai akhirnya dia membuka percakapan.
            “Maaf kalo aku ganggu kamu malam ini, aku Wilson.” Dia menggulurkan tangannya ramah.
            “Lilian.” Balasku. “Oh God ini pertama kalinya aku menjabat tangan laki-laki yang ku cintai 5 tahun belakangan ini, dan saat ini dia didepan mataku, duduk berdua denganku di teras rumahku. Apakah sedang bermimpi? Tapi aneh, mengapa perasaanku tidak banyak berubah. Aku hanya merasakan aku ga percaya sama semua ini. Apakah benar cinta ku yang dulu telah begitu dalam buat dia sudah bisa aku kubur?”
            “Mungkin ini terlalu buka-bukan, tapi aku mau bilang kalo aku suka sama kamu. Kurang lebih sejak 5 tahun yang lalu.” Ceritanya.
            “Hah?” Hanya kata itu yang dapat keluar dari mulutku. Aku terlalu kaget dengan yang dia katakan.
            “Maaf aku buat kamu kaget. Aku ngomong kayak gini bukan mau kamu jadi pacar aku. Aku hanya mau kamu tau perasaan aku. Hanya itu.  Selebihnya aku kembalikan lagi sama kamu.” Selorohnya. Aku hanya diam. Beberapa saat kami sempat ngobrol sampai akhirnya dia pamit pulang. Dan malam itu adalah malam paling membahagiakan dan paling membingungkan.
***
            Sejak malam itu aku memutuskan menunda lebih lama untuk menjawab pernyataan Andre kemaren. Jujur saat itu aku bingung. Aku seperti ada dipersimpangan jalan. Memang, Wilson tidak memintaku menjadi pacarnya. Tetapi pernyataan dia kemaren berhasil membuat perasaan yang aku kira aku sanggup menguburnya kembali di atas permukaan. Saat ini aku bimbang, benar-benar bimbang! Aku menyayangi Andre, tapi aku juga tidak bisa membohongi perasaanku bahwa masih ada rasa itu untuk Wilson. Dan aku tidak ingin meyakiti keduanya hanya karena perasaan egois ku semata.
            “Ndre, aku mau ngmong sama kamu.” Kataku pelan, aku enggan menyakitinya tapi aku merasa aku harus mengatakan ini sebelum aku menyakiti dia terlalu jauh. Sebenarnya keegoisan diriku melarangku mengatakan ini, aku takut kehilangan orang yang begitu menyayangiku. “Maaf, aku ga bisa nerima kamu saat ini. Bukan karena aku ga sayang sama kamu…” Aku tak sanggup melanjutkan kata-kataku.
            “Kenapa? Kamu ada masalah?” Tanya Andre yang saat itu langsung meminggirkan mobilnya untuk lebih berkonsentrasi mendengarkan perkataanku. Ketika itu kami sedang dijalan sepulang kuliah.
            “Kemaren sehabis kamu pulang, Wilson datang ke rumahku.”
            “Hah? Wilson? Kerumah kamu?” Ternyata Andre sama kagetnya dengan aku.
            “Iya. Dan malem itu ga tau kenapa, dia tiba-tiba aja nyatain perasaannya ke aku. Memang dia ga minta aku jadi pacarnya, tapi dia bilang kalo dia suka sama aku dalam waktu yang hampir sama lamanya seperti aku menyukai dia.” Ceritaku. Andre hanya diam dan memandangi wajahku. Aku sama sekali tidak dapat mengartikan perubahan wajahnya. Tetapi satu yang aku rasakan, kepedihan dari pandangan matanya.
            “Aku menghargai setiap keputusan yang kamu ambil. Aku yakin kalo itu keputusan terbaik yang kamu pilih buat hidup kamu.” Jawab Andre dewasa.
            “Maaf. Aku hanya ga mau karena perasaanku yang egois aku akhirnya nyakitin kamu. Kamu terlalu baik untuk itu.” Aku masih berusaha menjelaskan dengan air mata yang sudah penuh dipelupuk mataku.
            “Sudah. Aku tau, dan aku terima semuanya. Mungkin untuk saat ini best friend is better.” Ucapnya sembari menghapus air mataku yang hampir menetes. “Tapi aku bolehkan bersaing secara sehat sama dia? Kalo memang kamu masih merasa dia yang terbaik buat kamu, dengan gentle aku akan mundur.” Aku mengangguk dan berusaha tersenyum. Aku melihat kesungguhan dan cinta yang besar dari matanya.
            Walaupun sudah menjelaskan semuanya pada Andre, aku tidak sepenuhnya lepas dari rasa bimbangku. Aku masih dipersimpangan jalan. Dengan dua tikungan yang masing-masing menawarkan kebahagiaan untukku. Terkadang saat keduanya menghubungiku dan aku ada untuk mereka berdua, aku merasa aku wanita paling egois di dunia ini. “Tuhan tolong tunjukan mana yang terbaik yang harus aku lakukan”
***
            Suatu hari entah bagaimana, tiba-tiba saja Wilson menghubungiku. Dia meminta aku menemaninya kerumah sakit untuk alasan check up rutin. Aku mengiyakan, karena memang aku tak ada acara lain. Sore harinya ketika aku sedang bersiap-siap tiba-tiba saja Andre menelponku dan memintaku menemaninya makan malam. Karena memang Andre dikota ini sendiri. Kedua orang tuanya tinggal diluar pulau. Aku kembali dibuat bingung oleh keduanya. Mana yang harus aku dahulukan? Andre sering kali mengajakku keluar hanya untuk menemaninya makan. Dan biasanya aku akan dengan senang hati melakukan itu. Karena aku tau tidak enak rasanya makan sendiri, bahkan sempat beberapa kali aku memasakannya makanan.
            “Sorry ndre, tapi aku sudah ada janji.” Jawabku saat itu.
            “Oia? Ya uda deh, aku delivery makanan aja.” Kata Andre.
            “Iya. Kamu harus makan lo ya? Awas sampe aku tau kamu ga jadi makan karena males makan sendirian.” Aku memperingatkan.
            “Oke boss. Nurut deh. Ya uda kamu siap-siap gih sana. Ati-ati ya.” Katanya sebelum menutup telpon.
            Malam itu Wilson menjemputku dan kami langsung pergi kesebuah rumah sakit tempat biasa Wilson check up. Tetapi entah mengapa, aku merasa tidak enak hati karena menolak pergi dengan Andre. Aku terus terpikirkan Andre yang kecewa. Apalagi jika Andre sampai tau bahwa aku pergi dengan Wilson. Aku bisa membayangkan perasaannya. Perasaan ini membuatku tidak berkonsentrasi menemani Wilson. Beberapa kali dia mengajakku berbicara dan aku hanya diam. Karena pikiranku yang memang sedang kemana-mana.
            “Li, kamu sakit?” Wilson memegang keningku.
            “Hah? Nggak kok. Kenapa?” Tanyaku.
            “Kamu itu yang kenapa? Dari tadi aku ajakin ngomong kok dicuekin terus. Kamu ada masalah? Kalo mungkin mau share kamu bisa cerita sama aku.”
            “Hmm… Sebenernya aku kepikiran Andre. Tadi sebelum kamu jemput aku dia sempat telpon aku ngajak aku makan. Dia emang sering minta aku nemenin dia makan, karena dia sendiri disini dang a ada temen untuk makan.” Ceritaku.
            “Kamu kenapa ga bilang? Tau gitu kamu kan bisa pergi sama dia aja. Aku bisa kok sendiri.”
            “Tapi kan aku uda janji sama kamu, lagian kamu kan mau check up masa sendiri.”
            “Ya ampun, ini kan cuma check up rutin biasa. Ga apa-apa kali.” Wilson berusaha sebiasa mungkin walau pun tiba-tiba saja dia merasa kepalanya berkunang-kunang. “Uda kamu pergi gih kerumah dia, aku ga apa-apa kok. Dari pada kamu ga tenang disini, aku jadi ga enak.”
            “Kamu yakin ga apa-apa sendirian?” Tanyaku setelah beberapa saat berfikir.
            “Iya. Gih sana, ntar kemaleman. Apa kamu mau aku antar aja?”
            “Ga usa. Aku bisa sendiri kok.”
            “Ya uda kamu hati-hati ya..” Kata Wilson, aku mengangguk lalu pergi. Tak sampai tiga langkah aku jalan, tiba-tiba saja terdengar suara seseorang jatuh. Dan saat aku berbalik Wilson sudah tergeletak dilantai dengan wajah pucatnya. Aku berlari memanggil suster dan mereka membawa Wilson ke ruang ICU.
            Beberapa saat Wilson diperiksa didalam dan aku menungguinya seorang diri dengan keringat dingin dan wajah bingung. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan. Sampai beberapa saat kemudian dokter yang memeriksan Wilson keluar. Dokter itu menceritakan semua keadaan Wilson dan cukup membuat aku terduduk lemas. Umur Wilson hanya tinggal satu bulan lagi karena leukemia stadium 4 yang dideritanya sejak dua tahun lalu. Aku lemas. Tidak bisa berfikir apa-apa sama sekali. Yang aku tau tanganku memilih nama Andre dikontak dan tiba-tiba saja suaranya terdengar disebrang telpon.
            “Ya? Kenapa Li?” Tanyanya ramah.
            “Kamu bisa ke rumah sakit utama sekarang?”
            “Kamu kenapa?” Suaranya tiba-tiba saja berubah panik.
            “Ntar aku ceritain. Aku tunggu ya..” Kataku lalu mengakhiri sambungan telpon. Aku terduduk diam seorang diri didepan kamar ICU. Aku bingung apa yang harus aku lakukan. Aku sama sekali tidak menyangka penyakit ini bisa mengrogoti pria tangguh seperti dia. Dan sekarang dia terbaring lemah didalam sana. Bertahan hanya dengan obat-obat yang dia masukan kedalam tubuhnya dan dengan selang-selang itu.
            “Kamu dimana?” Tanya Andre yang menelponku.
            “Depan ruang ICU lantai 2.” Jawabku lemas.
            “Tunggu aku.” Andre mematikan sambungan telponnya dan tak berapa lama dia datang dengan nafas yang terpenggal-penggal. Dia menunduk didepanku dan memegang bahuku. “Kamu kenapa?” Tanyanya khawatir.
            “Wilson, ndre...” Aku tak sanggup menyambung kalimatku. Air mata yang dari tadiku tahan akhirnya menetes juga. Andre membantuku berdiri dan memelukku. Lewat pelukan itu seolah dia memberiku semangat.
            “Kamu cerita pelan-pelan, Wilson kenapa?” Tanyanya.
            “Aku kesini sama Wilson, tadinya aku berencana nemeni dia check up rutin. Aku kira itu hanya check up rutin biasa, tapi tadi tiba-tiba aja dia pingsan. Dan setelah dokter periksa katanya keadaannya baru aja drop karena itu dia pingsan. Dia kena leukemia sejak dua tahun lalu dan sekarang stadium 4.” Jawabku lemas. Wajahku pucat.
            Aku dan Andre duduk diruang tunggu cukup lama. Andre berusaha menenangkanku, karena saat itu wajahku begitu pucat dan tanganku dingin. Dia terus mengenggam tanganku, seolah memberiku semangat. Aku tau seharusnya saat ini dia sangat kecewa dengan sikapku. Tetapi dia malah mengesampingkan perasaan egoisnya dan duduk disini menemaniku sampai aku cukup kuat menerima kenyataan.
            “Kamu Lilian?” Tanya seorang ibu yang aku yakin itu Mama Wilson.
            “Iya tante, tante mamanya Wilson?” Tanyaku.
            “Iya. Makasih kamu sudah mau nemenin Wilson check up hari ini. Mungkin kamu kaget melihat dia tiba-tiba pingsan. Maaf.” Kata Mama Wilson sopan.
            “Ga apa-apa tante.” Jawabku.
            “Li, bisa kita ngomong berdua sebentar?” Wajah Mama Wilson tiba-tiba saja berubah serius. Aku memandang Andre sebentar lalu pergi mengikuti ke arah Mama Wilson berjalan. “Tante minta tolong, umur Wilson ga lama lagi dan yang tante tau dia suka sama kamu sudah cukup lama. Bantu tante, beri dia kebahagiaan dan senyum di hari-hari terakhir hidupnya.”
            “Tante jangan ngomong gitu, keajaiban ada untuk siapa saja yang percaya tan. Dan aku pasti bantu semampu yang aku bisa. Tante tenang aja.” Jawabku mengiyakan.
            “Tapi, tadi itu pacar kamu? Apa dia ga apa-apa kamu dekat dengan Wilson?”
            “Dia memang sedang dekat dengan aku tan, tapi aku akan coba ngomong dengan dia. Aku rasa dia cukup mengerti.”
            “Trima kasih kalo begitu. Kamu bisa pulang sekarang. Sudah malem. Biar tante dan om saja yang menemani Wilson disini.” Mama Wilson menasehatiku.
            Aku dan Andre pun pulang. Andre mengantarku sampai dirumah. Dalam perjalanan aku hanya diam dan sepertinya Andre pun sibuk dengan pikirannya sendiri. Perasaan bersalahku akan Andre yang tadi sempat ku lupakan tiba-tiba saja muncul kembali.
            “Ndre, maaf aku memilih buat pergi sama Wilson dari pada nemenin kamu makan.” Aku memulai pembicaraan sambil memperhatikan mimik wajah Andre.
            “Aku tau mungkin sekarang dia yang lebih penting buat kamu, aku tau kamu masih memiliki rasa itu buat dia. Aku terima semuanya…” Andre mengantung kalimatnya dan kami kembali diam. Aku tidak tau harus mengatakan apa. Sampai tiba-tiba Andre berbicara lagi. “Tapi satu hal yang kamu harus tau, aku tetap sayang sama kamu sampai saat ini. Dan aku bersedia berada disamping kamu saat kamu butuh.” Mendengar Andre berkata seperti itu tiba-tiba saja air mata mengalir dari mataku. Aku sedih, aku merasakan kepedihan yang pasti Andre rasakan saat ini. “Tuhan mengapa aku harus menyakiti orang sebaik Andre?”
***
            Selama Wilson di rawat dirumah sakit, aku tidak pernah sekali pun absen menjenguknya. Bahkan terkadang aku menungguinya sampai larut malam. Dan Andre selalu menjemput dan mengantarkan ku pulang. Aku menolak tapi Andre tetap memaksa. Dan hari-hari disaat aku semakin dekat dengan Wilson, Andre memang selalu ada disampingku, tetap memperhatikanku. Tapi banyak perubahan yang terjadi dalam dirinya. Dia lebih banyak diam. Seperti memikirkan sesuatu yang sangat menguras pikirannya. Membuatku semakin merasa bersalah.
            Sampai ketika Wilson keluar dari rumah sakit dan tanpa sepengetahuanku mereka berdua bertemu. Saat itu Wilson meminta maaf pada Andre karena tiba-tiba saja dia datang dan mengacaukan semua rencana yang sudah disiapkan oleh Andre untuk masa depan hubungan kami.
            “Sorry Ndre kalo aku tiba-tiba datang dan ngerusak hubungan kamu sama Lilian.” Kata Wilson saat itu. “Andai aja aku ga sakit dan umur ku masih panjang. Aku akan bersaing dengan kamu secara sehat untuk mendapatkan cinta dan perhatian dari Lilian. Tapi kali ini ga ada waktu buat aku untuk seperti itu. Penyakit ini membunuhku setiap detik yang aku punya. Dan aku harus mengaku kalah dan minta ijin pada kamu untuk memberikan aku waktu sebentar saja untuk berada disamping orang yang selama ini aku sayang.”
            Andre hanya diam. Jujur dari lubuk hatinya yang paling dalam, siapa yang rela melihat orang yang disayang berada disamping orang lain walau hanya untuk beberapa minggu. Kalau saja Andre cukup tega untuk tidak mengijinkan itu, dia pasti menolak. Tapi sayang hati kecilnya juga ingin memberikan sedikit kebahagiaan untuk orang lain yang kurang beruntung seperti Wilson. Dengan berat hati Andre mengangguk. Tetapi dengan satu syarat, Wilson harus memberitahukan kemana saja dia dan aku akan pergi. Dan Wilson setuju akan hal itu. Mereka berdua juga memutuskan merahasiakan pertemuan dan semua perjanjian yang mereka buat ini.
            Sejak saat itu, setiap kali Wilson pergi denganku dia selalu member tahukan pada Andre. Setiap kali itu pula Andre selalu mengikutiku dan Wilson tanpa sepengetahuan kami. Ketidak relaan dalam hatinya dia kalahkan dengan rasa iba-nya pada Wilson. Dan aku sungguh mengagumi setiap pengorbanannya.
***
            Setelah beberapa minggu aku dan Wilson habiskan waktu bersama, tiba-tiba saja Wilson menghilang tanpa kabar sama sekali. Berkali-kali aku menghubunginya tapi tidak ada jawaban yang pasti yang aku dapat. Aku menyiapkan diriku menghadapi setiap kemungkinan terburuk yang terjadi.
            Tepat dihari ketujuh dia tanpa kabar, tiba-tiba saja dia menghubungiku dan mengatakan akan menjemputku satu jam lagi. Menyuruhku bersiap-siap karena dia akan membawaku kesuatu tempat. Tanpa ragu aku pun berganti pakaian dan menunggunya. Setelah menghubungi aku ternyata dia juga menghubungi Andre, memberitahukan segala rencana dia bersamaku hari ini pada Andre. Dan memberikan satu alamat lalu menyuruh Andre datang dan bersembunyi beberapa saat sampai Andre merasakan saat yang tepat untuk dia keluar. Andre hanya menurut.
            Wilson datang tepat waktu. Menjemputku dengan motor kesayangannya dan membawaku kearah hampir keluar kota. Ternyata dia membawaku kesebuah taman yang cukup tenang dan terdapat sebuah danau di salah satu sisinya. Kami duduk di atas rumput dipinggir taman itu.
            “Kamu kemana aja sih? Kok tiba-tiba menghilang gitu?” Tanyaku.
            “Kamu kangen ya?” Wilson menggodaku.
            “Ih, apaan sih? Kamu jadi genit gitu.” Aku mendorong tubuhnya pelan.
            “Iya kan? Tuh muka kamu merah..” Tawa kami pun lepas.
            “Son, kamu tau ga kalo 5 tahun yang lalu adalah awal aku juga suka sama kamu?” Tanyaku tiba-tiba serius. Wilson hanya menggelengkan kepalanya. “Iya 5 tahun yang lalu awal aku menyukaimu, dan disaat kamu datang kerumah aku dan menyatakan semua perasaanmu. Beberapa jam sebelum itu adalah saat aku mengambil sebuah keputusan untuk berhenti menyukai kamu dan membuka hati aku untuk Andre.”
            “Maaf…” Hanya kata itu yang keluar dari mulut Wilson.
            “Aku tidak pernah menyalahkann keputusanmu untuk hadir dihidup aku. Sekali pun malem itu kamu ga pernah datang, aku tetap tidak merasa bahwa aku melakukan kesalahan karena mencintaimu diam-diam.” Selorohku.
            Wilson menarik tanganku dan membuatku duduk berhadap-hadapan dengannya. Dia menatap mataku dalam. Ketika itu juga entah mengapa air mataku menetes. Aku seperti merasakan itu sebuah tatapan selamat tinggal dari dia. Wilson tersenyum dan mengapus air mataku dengan kedua tangannya.
            “Kamu kenapa? Kok malah nangis?” Tanyan Wilson pelan tapi matanya terus menatapku dan senyum manisnya terus mengembang.
            “Aku ga tau kenapa, tapi tatapan mataku kayak bilang sama aku…” Aku tidak sanggup melanjutkan kalimatku. Aku tertunduk dan air mataku mengalir semakin deras. Wilson tersenyum dan memelukku hangat.
            “Uda donk jangan nangis. Aku ga apa-apa. Ga ada yang perlu kamu takutin.” Katanya ditengah-tengah pelukanku. Dia membelai rambutku lembut. Lalu melepaskan pelukannya. “Aku mau kasih kamu sesuatu, tapi jangan dibuka sekarang. Ya?” Wilson memberikanku sebuah kotak berwarna putih dan memasukannya kedalam tas yang aku bawa.
            “Aku capek. Boleh aku tidur dipangkuan kamu sebentar?” Tanya Wilson. Tatapan mata dan senyumnya terlihat teduh sekali. Aku hanya mampu mengangguk. Ketika rambutnya menyentuh kulitku. Entah mengapa perasaanku semakin tak karuan. Apalagi ketika aku membelai rambutnya perlahan dan matanya mulai menutup. Dan tiba-tiba saja tetesan air mata yang sejak tadi ku tahan tiba-tiba saja jatuh. Jatuh diatas tangannya yang sedang menggenggam erat tanganku! Bersamaan dengan itu, tangannya melepaskan genggaman tanganku dan terkulai.
            Aku terisak seorang diri sambil terus membelai wajahnya, sampai tiba-tiba seseorang merangkulku dari belakang. Dan aku mengetahui itu tangan Andre.
            “Kamu harus kuat, ikhlasin dia pergi. Doain yang terbaik buat dia diatas sana.” Ucap Andre pelan sembari membantu mengangkat Wilson. Wajah Wilson terlihat begitu teduh dan damai dibalik ketegasan dari setiap rahang-rahangnya yang mulai mengeras. Air mataku tak berhenti mengalir. Aku tak menyangka laki-laki yang begitu aku kagumi karena ketangguhannya pergi dengan cara seperti ini.
            Beberapa saat kemudian ambulance datang dan membawa Wilson pergi. Aku hanya memandang wajahnya yang ditutupi kain putih dan dibawa pergi. Setelah mengurus semuanya dan ambulance yang membawa tubuh Wilson pergi, Andre datang dan duduk disampingku. Merangkulku, memberikan bahunya untuk tempatku menangis.
            “Kamu mau ga bantu aku bacain ini?” Aku memberikan sebuah surat yang ada didalam kotak gelang pemberian Wilson tadi. Andre mengambilnya dan mulai membacanya pelan-pelan.
            “Ketika kamu baca surat ini, aku berani memastikan aku sudah tenang dan bahagia disana. Maaf aku menganggu kamu satu bulan ini, maaf aku merusak hubunganmu dengan Andre yang seharusnya kalian sedang bahagia-bahagianya saat ini. Sampaikan permohonan maafku pada Andre. Tapi juga terima kasih kamu kasih aku kesempatan buat ngerasain ada disamping kamu dan ngerasain gimana ketulusan hati kamu yang selama ini hanya aku dengar dari teman-temanmu. Jujur aku iri dengan mereka yang bisa punya waktu lebih banyak berada disamping orang semenarik kamu. Tapi aku sudah cukup bahagia denga satu bulan yang sudah Andre relakan untuk aku bersama kamu. Terima kasih dan maaf untuk semuanya. Setelah baca surat ini, aku mau kalian bersatu. Jangan tunggu waktu lebih lama. Kekuatan cinta kalian terlalu sayang untuk disia-siakan. Happy ever after my the best friends. Orang yang selalu mendoakan kebahagian kalian. Wilson.” Andre selesai membacakan surat itu dan mengembalikannya padaku. Aku memeluknya. Menangis terisak didadanya. Perasaanku bercampur aduk dan aku tau hanya Andre yang mampu membuatku merasa tenang.
            “Jadi ini semua sudah di rencanakan Wilson?” Tanyaku ketika sudah merasa cukup tenang.
            “Iya. Dia ngasih aku alamat tempat ini dan menyuruhku datang juga menyuruhku menelpon ambulance. Seminggu ini dia dirumah sakit karena keadaannya drop. Dia meminta agar kamu tidak mengetahui keadaannya. Sampai dokter memvonis umurnya hanya tinggal beberapa hari lagi. Dan tadi pagi dia memaksa dokter untuk mengijinkan dia keluar dari rumah sakit karena dia ingin disaat dia pergi dia ada ditempat ini bersama kamu. Memberikan senyum terbaiknya untuk kamu.” Andre menceritakan semuanya.
            “Dan kamu ada disini sejak tadi?” Andre mengangguk.
            “Aku melihat setiap hal yang kamu lakukan dengan dia. Sampai disaat dia terakhir menutup mata diatas pangkuan kamu.” Jawab Andre.
            “Maafin aku Ndre.” Ucapku pelan.
            “Untuk apa?” Andre balik bertanya.
            “Satu bulan ini kamu susah karena aku. Karena keegoisanku yang tidak mau melepaskan kamu untuk pergi, malah mengijinkan kamu untuk menungguku. Harusnya aku tidak melakukan hal itu…” Andre memutus perkataanku dengan menempelkan jari telunjuknya dibibirku.
            “Kamu ga salah, Wilson pun ga salah dan tidak ada yang salah disini. Ini semua jalan Tuhan. Dan aku rela menjalani semua ini. Paling tidak ini menunjukkan bahwa aku rela dan tulus sama kamu.” Seloroh Andre dewasa.
            “Makasih, Ndre. Dan sekarang aku berani mengambil keputusan untuk menyerahkan hati aku buat kamu jaga. Maaf jika mungkin didalamnya ada Wilson. Tapi dia hanya bagian dari masa laluku saat ini.” Andre tersenyum dan memelukku hangat.
            Kami bersatu dengan restu yang diberikan Wilson. Dan aku yakin di atas sana Wilson tersenyum melihat kami bersama.

-THE END-

Surabaya, 23 Maret 2011
By        : Agnes Angelina
Thx to : Kristina Inneke


No comments:

Post a Comment